Mengenang Kisah Perjalanan Karir Budi Anduk


Komedian Budi Anduk dikabarkan meninggal dunia, Senin (11/1/2016) di Rumah Sakit Dharmais Jakarta. Kabar tersebut diperoleh dari Twitter salah seorang sahabat Budi Anduk, Maman Suherman.
Di Twitter, wartawan yang juga pengisi acara Indonesia Lawak Klub itu mengabarkan meninggalnya komedian berusia 47 tahun tersebut.

"Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Turut berduka atas wafatnya sahabat kami, anggota @PP_PasKI Budi Anduk," cuit Maman beberapa menit yang lalu.

Sebelumnya, pemberitaan mengenai kondisi Budi Anduk memang tengah ramai di media massa. Budi dikabarkan menderita sakit paru-paru sejak beberapa hari lalu. Namun sayangnya, pihak keluarga seakan tertutup mengenai kondisi komedian yang populer lewat acara Tawa Sutra.

Budi Anduk memiliki nama lengkap Budi Prihatin kelahiran Jakarta, 6 Februari 1968. Wajah Budi Anduk pertama kali dilihat di acara komedi Ngelaba dengan trio Akrie, Parto dan Eko. Namun di Ngelaba, nama Budi Anduk belum begitu dikenal.
Nama Budi baru benar-benar dikenal setelah membintangi acara komedi Tawa Sutrabareng Pepi, Arie K. Untung, almarhum Ade Namunung, Aldi Taher dan Sabria Kono. (fei/Adt)

Berikut ini kisah perjalanan karir budi anduk:

Komedian yang sedang naik daun ini pernah menjadi salah satu murid berprestasi di sekolah. Sayang, karena kekurangan biaya ia tidak bisa melanjutkan kuliah. Ia malah menjadi pengangguran, dan hidup terlunta-lunta.
Aku lahir di Jakarta, tepatnya di Rumah Sakit Budi Kemuliaan, Tanah Abang, pada tanggal 8 Februari 1968. Bapakku bernama Sukadi dan Ibu bernama Marice Kayadu. Aku lahir sebagai anak kedua dari empat bersaudara.
Meski ayah seorang polisi, sejak kecil aku tidak pernah dididik dengan keras. Dibanding Ibu, Ayah enggak pernah marah apalagi main tangan. Ayah sangat memberikan banyak kebebasan bagi anak-anaknya, asal dengan catatan tidak nakal.
Tapi namanya anak kecil, nakal-nakal sedikit sebenarnya biasa. Paling berantem sama teman main di daerah rumahku di kawasan Pondok Karya, Mampang, Jakarta Selatan. Apalagi namanya anak kolong, kebanyakan bandel-bandel jadi aku ya ikut-ikutan. Ha ha ha.
Bandelnya aku bukan bandel yang sampai jadi urusan polisi, lo. Ketika masih SD di SD 03 Dharma Satria, Mampang aku bersama sahabatku Trimo, Ono dan Iwan hobi mandi di kali setiap pulang sekolah. Setelahnya kami jalan ke mana saja bahkan pernah sampai Buncit dan Kemang. Jalannya lumayan jauh, tapi karena beramai-ramai enggak terasa.
Pernah beberapa kali, kami iseng malak teman-teman sekolah. Kalau kami enggak dikasih uang ya berantem. Kadang kalau ketemu sama anak sekolah lain, juga suka berantem. Wah, aku preman banget deh dulu.
Tapi yang paling kusukai adalah mencari pertunjukkan layar tancap. Sepulang dari sekolah, ketemu sama tukang tahu atau tukang nasi goreng pasti kami selalu bertanya di mana lokasi pertunjukkan layar tancap. Kalau bisa, pulang sekolah itu kami langsung berangkat ke lokasi layar tancap. Tapi, kalau memang harus pulang ke rumah dulu, sore harinya kami lalu ngumpet-ngumpet keluar rumah.
Saking seringnya nonton layar tancap kami sampai punya kode tersendiri untuk pertunjukkan layar tancap. Yaitu "dua kecil" untuk pertunjukkan kecil dan "dua gede" untuk pertunjukkan besar yang film-filmnya pasti bagus. Hobi itu sempat membuatku dimarahi guru. Soalnya aku suka tertidur di kelas. Tahu sendiri, kan, kalau layar tancap itu biasa digelar malam sampai pagi, jadi ngantuk kan di sekolah.
Pernah suatu kali aku ketiduran di kelas. Langsung, dong, mejaku digebrak dan pipiku ditampar Pak Guru. Tapi anehnya, dikerasin begitu aku malah enggak kapok untuk terus nonton layar tancap. Bukan cuma guru yang sering marah gara-gara hobiku itu, Ibu pun sering ngomel. Apalagi ketika aku pernah tertabrak motor sepulang nonton layar tancap.

Juara Kelas
Ketika masuk SMP 141, Jakarta Selatan perilakuku yang tadinya nakal mulai berubah. Bukannya menyombongkan diri, kalau teman-teman ikut-ikutan minum minuman keras, aku justru pergi ke Masjid. Aku rajin belajar mengaji dan salat. Kupikir, ternyata semua perilakuku itu tergantung lingkungan. Kebetulan sejak masuk SMP, teman-temanku banyak yang berkelakuan baik. Akibatnya, aku jadi mengerti mana yang salah dan benar. Aku pun menjadi juara kelas di SMP dari kelas 1 sampai kelas 3.
Meski demikian, keisenganku masih suka kambuh. Suatu ketika, di tengah pelajaran Biologi aku bercanda dengan teman sebangku. Guruku sangat galak, namanya Pak Sibarani. Sambil cengengesan aku bilang ke teman, "Gaya Pak Guru kayak Usro (temannya Unyil. Red.), ya?" Langsung becandaanku itu menyebar di kelas dan semuanya tertawa. Apesnya, aku ketahuan jadi biang keributan dan langsung dipanggil ke kantor untuk dimarahi. Orangtuaku pun sampai dipanggil ke sekolah.
Tahun 1984 aku diterima di SMA 26 Jakarta Selatan dengan nilai yang cukup bagus ketika itu. Nah, di SMA aku berkenalan dengan teman-teman baru dan lingkungan baru. Di masa itu pula aku berkenalan dengan dunia musik. Ketika itu musik yang terkenal adalah Rolling Stones dan Beatles. Aku pun bikin band dan ikut-ikutan membawakan lagu-lagu dari band populer itu. Dalam band, aku kebagian pegang bass. Hebatnya, aku tak pernah kursus alat musik. Tapi jeleknya, aku keasikan main musik dan manggung dari sekolah ke sekolah sehingga lupa pelajaran.
Lulus SMA di tahun 1987, nilaiku tak sebagus dulu. Aku juga malas-malasan mencari kerja. Sementara untuk melanjutkan kuliah tak ada biaya. Aku jadi pengangguran, enggak jelas mau apa. Setiap hari kerjaku hanya nongkrong dan begadang. Sampai pada tahun 1997, kedua orangtua memutuskan untuk pindah ke daerah Bekasi. Kakak dan adik ikut pindah, sementara aku memilih untuk tetap tinggal di Mampang.
Masa-masa itulah yang menjadi masa terpahit bagiku. Aku baru merasakan beratnya hidup. Kadang makan, kadang enggak. Kadang malah terpaksa numpang makan sama saudara atau teman. Tidur pun sering pindah-pindah. Kadang di sekolah, di rumah teman, bahkan emperan toko pinggir jalan.
Sampai suatu hari muncul kesadaran bahwa hidupku tak bisa begini terus. Aku kemudian mulai mencari kerja. Alhamdulillah dapat di Pasaraya Blok M menjadi pramuniaga Batik Lukis. Kira-kira setahun kemudian aku bosan lalu memutuskan berhenti.

Masuk Dunia Hiburan
Sekitar tahun 2000 ditengah kebuntuan itu, aku ingat dengan Mas Parto yang ketika itu sudah menjadi pelawak beken. Kebetulan sejak kecil aku kenal dengan Mas Parto, rumahnya pun dekat dengan rumahku di Mampang. Dulu, Mas Parto yang mengajarkan aku main gitar.
Nah, iseng-iseng aku main ke rumahnya. Mas Parto ketika itu sudah punya acara lawak tetap di TPI yang bernama Ngelaba. Suatu hari aku diajak Mas Parto syuting. Aku menjadi kru dengan bayaran Rp 50 ribu per hari. Mulai dari bawain tas sampai cari penonton. Wah, bukan main senangnya saat itu. Aku kan capek terus-terusan nganggur.
Lama-lama, Mas Parto memintaku jadi figuran. Di situlah aku belajar banyak soal melawak dan dunia hiburan. Dari yang awalnya demam kamera, sampai aku cukup percaya diri untuk tampil di depan kamera. Tak lama kemudian aku dianggap mampu untuk tergabung dalam tim kreatif Mas Kiwil. Aku lupa kapan tepatnya saat itu, tapi nama acaranya Lesehan. Tapi ternyata jadi tim kreatif itu penghasilannya lebih minim daripada menjadi pemain. Ya sudah, aku angkat kaki dari tim kreatif. Beruntung, Mas Parto sangat mendukung langkahku.
Lama kelamaan aku mulai terdesak oleh umur yang semakin tua. Sementara aku tak punya penghasilan tetap. Kalau begitu, mana berani aku mencari pasangan hidup. Apalagi punya anak. Nah, dari situlah aku berpikir, aku harus berubah. Dan syukurnya pekerjaan langsung menghampiriku. Aku dipercaya Global TV untuk main dalam Situasi Komedi berjudul Klinik. Lalu tahun 2007 aku diajak bergabung di acara Tawa Sutera di ANteve. Wah, aku merasa kembali bersemangat menjalani hidup! .
EDWIN YUSMAN F

SUMBER: dari berbagai